Abstrak. Pendidikan bisnis tidak dapat melepaskan diri dari proses
pendidikan wirausaha, oleh karenanya model dan sistem pendidikan bisnis
harus menunjang pendidikan kewirausahaan. Proses pembelajaran dalam
pendidikan bisnis harus diarahkan kepada pemanfaatan pengetahuan dan
kemampuan untuk bekal hidup sasaran didik di tengah-tengah kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, sehingga belajar sambil bekerja menjadi
sangat penting. Untuk itu proses pembelajaran harus memperhatikan
keseimbangan faktor bawaan (minat, motivasi, bakat) dan faktor
lingkungan (masyarakat dan pendidikan). Keselarasan antara potensi
bawaan dan lingkungan akan dapat membawa pencapaian tujuan pembelajaran
seperti yang diharapkan oleh siswa sendiri. Karena guru memegang peran
sebagai fasilitator, innovator, motivator bagi belajar siswa, maka
proses belajar individual menjadi sangat penting dengan memilih metode
pembelajaran yang mengarah pada penemuan kemampuan dan keterampilan
sesuai dengan keinginan, minat, motivasi, dan bakat siswa. Sebaiknya
proses pembelajaran tidak lagi berorientasi kepada selera sekolah atau
guru. Penekanan evaluasi pada sikap dan keterampilan intelektual siswa,
serta tidak lagi kepada pengetahuan teoritis. Pengumpulan pengetahuan
teoritis yang berlebih tanpa ada maknanya bagi hidup, merupakan
pekerjaan yang sia-sia. Disarankan perlu adanya perubahan yang mendasar
dari visi dan misi pendidikan kejuruan dan profesi mengubah model dan
sistem pembelajaran, dengan tidak beroerientasi kepada pembentukan
tukang, tetapi harus lebih dari itu, yakni menumbuhkan wirausahawan
yang tangguh.
Kata kunci: Wirausaha, Sikap, Pendidikan
Bisnis, Pembelajaran.
Pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh
perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun
masyarakat. Banyak pendidik yang kurang memperhatikan penumbuhan sikap
dan perilaku kewirausahaan sasaran didik, baik di sekolah-sekolah
kejuruan, maupun di pendidikan profesional. Orientasi mereka, pada
umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Dari lain, secara historis
masyarakat kita memiliki sikap feodal yang diwarisi dari penjajah
Belanda, ikut mewarnai orientasi pendidikan kita. Sebagian besar
anggota masyarakat mengaharapkan output pendidikan sebagai pekerja,
sebab dalam pandangan mereka bahwa pekerja (terutama pegawai negeri)
adalah priyayi yang memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani
oleh warga masyarakat. Lengkaplah sudah, baik pendidik, institusi
pendidikan, maupun masyarakat, memiliki persepsi yang sama terhadap
harapan ouput pendidikan. Orang jawa bilang “koyo tumbu oleh
tutupâ€.
Berbeda dengan di negara maju, misalkan
Amerika Serikat. Di Amerika
Serikat bahwa sejak 1983 telah merasakan pentingnya pendidikan kejuruan
(Schrag dan Poland, 1987). Pendidikan kejuruan yang dikembangkan
diarahkan pada usaha memperbaiki posisi Amerika dalam persaingan
ekonomi dan militer. Pendidikan kejuruan khususnya yang berkenaan
dengan pendidikan bisnis, dikatakan bahwa dapat dilakukan pada setiap
level pendidikan, baik pada level Sekolah Dasar; Sekolah Menengah;
maupun di perguruan tinggi. Pendidikan bisnis di Amerika meliputi,
pendidikan pekerja kantor, distribusi dan pemasaran, dan pemahaman ilmu
ekonomi.
Lebih lanjut Scharg dan Poland (1987), mengatakan bahwa pendidikan
Bisnis menyiapkan siswa untuk masuk dalam pekerjaan bisnis secara
mahir, yang sama pentingnya, menyiapkan siswa untuk memimpin persaingan
binis yang mereka miliki, dan sebagai konsumer yang pandai serta
sebagai warga negara yang pandai dalam ilmu ekonomi bisnis. Dari
batasan batasan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan bisnis di
Amerika di arahkan kepada: 1) menyiapkan siswa sebagai pekerja yang
cakap dalam dunia bisnis; 2) menyiapkan siswa sebagai pelaku bisnis
yang handal; 3) meneyiapkan siswanya sebagai konsumen yang rasional; 4)
mengusahakan siswanya untuk menguasai ilmu ekonomi bisnis. Dalam
kaitannya dengan menyiapkan siswa sebagai pelaku bisnis, tidak lepas
dengan penciptaan wirausahawan.
Schumpeter, sebagaimana dikutip Bygrave (1996) dalam Entrepreneurship,
mengatakan seorang wirausahawan adalah individu yang memperoleh peluang
dan menciptakan organisasi untuk mengejarnya (mengejar peluang). Sedang
Drucker (1996), mengatakan bahwa wirausaha selalu mencari perubahan,
menanggapinya dan memanfaatkannya sebagai peluang. Oleh karena itu,
dapatlah kita katakan bahwa seorang entrepeneur adalah pribadi yang
mencintai perubahan, karena dalam perubahan tersebut peluang selalu
ada. Ia akan selalu mengejar peluang tersebut dengan cara menyusun
suatu organisasi. Sebagai suatu proses kewirausahaan menyangkut segala
fungsi, aktivitas, dan tidakan yang berhubungan dengan perolehan
peluang dan penciptaan organisasi untuk mengejarnya (Bygrave, 1996).
Karena itu, jika pendidikan binis memiliki misi melaksanakan pendidikan
wirausahawan, maka sudah selayaknya kurikulum dan stretegi
pembelajarannya mengalami perubahan dan penyesuaian. Melihat karakter
wirausahawan di atas, kelihatannya sulit pembentukan wirausahawan
tercapai, manakala proses pembelajarannya tetap mempergunakan strategi
yang boleh dikata “klasikâ€.
Menurut Scharg et. al. (1987) wirausahawan merupakan hasil belajar.
Meskipun jiwa wirausahawan mungkin juga diperoleh sejak lahir sebagai
bakat, namun jika tidak diasah melalui belajar dan dimotivasi dalam
proses pembelajaran, mungkin laksana pisau yang tumpul. Untuk
mempertajam minat dan kemampuan wirausahawan perlu ditumbuh-kembangkan
memalui proses belajar dan pembelajaran. Di sinilah letak dan
pentingnya pendidikan wirausahawan dalam pendidikan bisnis.
Terlepas dari tersebut di atas, sebenarnya sejak awal abad 19
Schumpeter (Budiono, 1999; Jinghan, 1999; Todaro, 1997) dalam teori
pertumbuhan ekonominya telah mengatakan, bahwa di samping stok kapital
dan teknologi telah membawa pertumbuhan ekonomi, satu hal lain yang
tidak kalah penting adalah wirausahawan. Ia berpendapat, bahwa di dunia
telah muncul pioner-pioner pertumbuhan ekonomi, yang dengan keahlian
dan kreativitasnya pertumbuhan ekonomi telah berkembang, yakni
wirausahawan. Banyak bermunculan wirausahawan kelas dunia telah lahir,
yang dapat melakukan perubahan tatanan perekonomian dunia. Selanjutnya
ia berpendapat bahwa di negara sedang berkembang umumnya kekurangan
tenaga wirausahawan (Jinghan, 1999; Todaro 1997).
Sebagai negara sedang berkembang, Indonesia termasuk masih kekurangan
wirausahawan. Hal ini dapat dipahami, kerena kondisi pendidikan di
Indonesia masih belum menunjang kebutuhan pembangunan sektor ekonomi.
Perhatikan, hampir seluruh sekolah masih didominasi oleh pelaksanaan
pendidikan dan pembelajaran yang konvensional. Mengapa hal itu dapat
terjadi? Di satu sisi institusi pendidikan dan masyarakat kurang
mendukung pertumbuhan wirausahawan. Di sisi lain, banyak kebijakan
pemerintah yang tidak dapat mendorong semangat kerja masyarakat,
misalkan kebijakan harga maksimum beras, maupun subsidi yang berlebihan
yang tidak mendidik perilaku ekonomi masyarakat.
Sejalan dengan kurangnya wirausahawan di negara kita, pada kesempatan
ini kita akan mencoba untuk menemukan model hipotetis yang mungkin
dapat diterapkan pada program pendidikan bisnis melalui pembelajaran
yang menumbuhkan sekaligus mengembangkan sikap positif terhadap
wirausahawan, dengan harapan bahwa di kemudian hari banyak tumbuh
wirausahawan baru yang dapat mendukung program pembangunan ekonomi di
Indonesia. Dengan catatan, bahwa kebijakan pemerintah diasumsikan dapat
menunjang kebijakan pendidikan wirausahawan.
SIKAP DAN PERILAKU
Pengertian sikap dan perilaku
Banyak
sosiolog dan psikolog memberi batasan bahwa sikap merupakan
kecenderungan individu untuk merespon dengan cara yang khusus terhadap
stimulus yang ada dalam lingkungan sosial. Sikap merupakan suatu
kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, posotitif atau negatif
terhadap berbagai keadaan sosial, apakah itu institusi, pribadi,
situasi, ide, konsep dan sebagainya (Howard dan Kendler, 1974;
Gerungan, 2000). Gagne (1974) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu
keadaan internal (internal state) yang mempengaruhi pilihan tidakan
individu terhadap beberapa obyek, pribadi, dan peristiwa. Masih banyak
lagi definisi sikap yang lain, sebenarnya agak berlainan, akan tetapi
keragaman pengertian tersebut disebabkan oleh sudut pandang dari
penulis yang berbeda. Namun demikian, jika dicermati hampir semua
batasan sikap memiliki kesamaan padang, bahwa sikap merupakan suatu
keadaan internal atau keadaan yang masih ada dalam dari manusia.
Keadaan internal tersebut berupa keyakinan yang diperoleh dari proses
akomodasi dan asimilasi pengetahuan yang mereka dapatkan, sebagaimana
pendapat Piaget’s tentang proses perkembangan kognitif manusia
(Wadworth, 1971). Keyakinan diri inilah yang mempengaruhi respon
pribadi terhadap obyek dan lingkungan sosialnya. Jika kita yakin bahwa
mencuri adalah perbuatan tercela, maka ada kecenderungan dalam diri
kita untuk menghindar dari perbuatan mencuri atau menghidar terhadap
lingkungan pencuri. Jika seseorang meyakini bahwa dermawan itu baik,
maka mereka merespon positif terhadap para dermawan, dan bahkan mungkin
ia akan menjadi dermawan.
Sekilas, di atas terlihat bahwa antara sikap dan perilaku ada kesamaan.
Oleh karena itu, psikolog sosial, seperti Morgan dan King, Howard dan
Kendler, serta Krech dkk., mengatakan bahwa antara sikap dan perilaku
adalah konsisten. Apakah selalu bahwa sikap konsisten dengan perilaku?
Seharusnya, sikap adalah konsisten dengan perilaku, akan tetapi karena
banyaknya faktor yang mempengaruhi perilaku, maka dapat juga sikap
tidak konsisten dengan perilaku. Dalam keadaan yang demikian terjadi
adanya desonansi nilai.
Para psikolog, di antaranya Morgan dan King, Howard dan Kendler, Krech,
Crutchfield dan Ballachey, mengatakan bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hereditas. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi perilaku adalah beragam, di antaranya pendidikan,
nilai dan budaya masyarakat, politik, dan sebagainya. Sedang faktor
hereditas merupakan faktor bawaan seseorang yang berupa karunia
pencipta alam semesta yang telah ada dalam diri manusia sejak lahir,
yang banyak ditentukan oleh faktor genetik. Kedua faktor secara
bersama-sama mempengaruhi perilaku manusia. Jika kita ingin menumbuhkan
sikap, kita harus memadukan faktor bawaan berupa bakat dan faktor
lingkungan pendidikan dan belajar. Pandangan ini sejalan dengan hukum
konvergensi perkembangan yang menyeimbangkan antara faktor bawaan
dengan faktor lingkungan, tanpa mengorbankan satu faktorpun (Syah,
2002).
Jika seorang pendidik menginginkan menumbuhkan sikap sasaran didik,
seharusnya mengetahui bakat yang ada pada sasaran didik, keinginan
sasaran didik, nilai dan pengetahuan yang seharusnya didapat sasaran
didik, serta lingkungan lain yang kondusif bagi penumbuhan sikap
mereka, termasuk lingkungan politik. Keadaan ini sulit dilakukan,
tetapi harus diusahakan. Jika kita ingin pendidikan berkembang dan
bermanfaat bagi masyarakat, maka kita tidak boleh diam. Apapun
hasilnya, pendidik harus berusaha melakukan inovasi proses pendidikan.
Perlu disadari, bahwa segala sesuatu membutuhkan proses yang cukup
panjang untuk mencapai suatu keberhasilan.
Sebagaimana diketahui oleh umum, bahwa sistem pendidikan kita masih
bersandar pada prinsip, teori, dan konsep behavioristik. Konsep dan
teori terbut jika diaplikasikan dalam pendididikan kejuruan dan
profesi, sudah tidak relevan lagi. Model pendidikan klasikal, seperti
yang sekarang ini banyak diterapkan, berangkat dari konsep
behavioristik, sulit untuk menumbuhkan sikap wirausaha. Pada masa
pembangunan, seperti terjadi di negara kita pada saat ini, sangat
membutuhkan tenaga wirausahawan untuk mempercepat laju pertumbuhan
ekonomi nasional. Dengan demikian, manakala kita masih mempertahankan
model pendidikan behavioristik, kami yakin bahwa tidak akan mampu
menumbuhkan wirausahawan yang menjadi pelaku pembangunan ekonomi
nasional yang handal. Dengan demikian, perubahan sistem dan model
pendidikan, khususnya dalam pendidikan bisnis, perlu dilakukan.
Terutama mengarah pada pembelajaran kewirausahaan.
Komponen Sikap
Secara umum, dalam berbagai referensi, sikap memiliki 3
komponen yakni:
kognitif, afektif, dan kecenderungan tindakan (Morgan dan King, 1975;
Krech dan Ballacy, 1963, Howard dan Kendler 1974, Gerungan, 2000).
Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian
individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak
manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan
menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan
dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia1. Nilai - nilai
baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya
akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Oleh
karena itu, komponen afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi)
individu terhadap obyek atau subyek, yang sejalan dengan hasil
penilaiannya. Sedang komponen kecenderungan bertindak berkenaan dengan
keinginan individu untuk melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan
dan keinginannya. Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek
dapat positif atau negatif. Manifestasikan sikap terlihat dari
tanggapan seseorang apakah ia menerima atau menolak, setuju atau tidak
setuju terhadap obyek atau subyek.
Komponen sikap berkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antar
komponen sikap dapat diperiksa pada gambar 1 di bawah. Pada gambar
tersebut secara bersama-sama komponen kognitif, afektif, dan
kecenderungan bertindak menumbuhkan sikap individu. Dari manapun kita
memulai dalam analisis sikap, ketiga komponen tersebut tetap dalam
ikatan satu sistem. Sikap individu sangat erat kaitannya dengan
perilaku mereka. Jika faktor sikap telah mempengaruhi ataupun
menumbuhkan sikap seseorang, maka antara sikap dan perilaku adalah
konsisten, sebagaimana yang dikemukan oleh Krech dan Ballacy, Morgan
King, dan Howard.
Keterangan: komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak
merupakan suatu kesatuan sistem, sehingga tidak dapat dilepas satu
dengan lainnya. Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk
sikap pribadi
Sikap seseorang seharusnya konsisten dengan perilaku. Seandainya sikap
tidak konsisten dengan perilaku, mungkin ada faktor dari luar diri
manusia yang membuat sikap dan perilaku tidak konsisten. Faktor
tersebut adalah sistem nilai yang berada di masyarakat, diantaranya
norma, politik, budaya, dan sebagainya. Dari penjelasan tersebut jelas
bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab lembaga pendidikan.
Seluruh masyarakat dan intansi terkait harus menunjang pelaksanaan
pendidikan. Pendidikan haruslah diletakan pada kondisi dan situasi yang
benar-benar kondusif bagi jalannya proses pendidikan. Dengan cara
demikianlah, sebenarnya secara teoritis dan konseptual, tujuan
pendidikan tercapai. Sebaliknya, jika masyarakat dan seluruh instansi
politik dan pemerintahan tidak mernunjang, maka pendidikan akan
mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan merupakan
tanggung jawab seluruh warga bangsa, dan harus ditunjang oleh komitmen
politis dari seluruh warga bangsa-bangsa.
Keterangan: Ketiga komponen kognitif, afektif, dan kecenderungan
bertindak secara bersama- sama membentuk sikap. Sikap secara konsisten
mempengaruhi perilaku. Oleh karena itu, sikap seharusnya konsisten
mempengaruhi perilaku.Jika antara sikap tidak konsisten dengan
perilaku, maka terdapat sistem eksternal yang ikut mempengaruhi
konsistensi antara sikap dan perilaku.
Sikap dapat pula diklasifikasikan menjadi sikap individu dan sikap
sosial (Gerungan, 2000). Sikap sosial dinyatakan oleh cara-cara
kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap obyek sosial, dan
biasanya dinyatakan oleh sekelompok orang atau masyarakat. Sedang sikap
individu, adalah sikap yang dimiliki dan dinyatakan oleh seseorang.
Sikap seseorang pada akhirnya dapat membentuk sikap sosial, manakala
ada seregaman sikap terhadap suatu obyek. Dalam konteks pemahasan ini,
sikap yang dimaksud adalah sikap individual, mengingat pendidikan yang
dihabahas dalam kajian ini menyangkut proses pendidikan secara
individual, mengingat keinginan, kebutuhan, kemampuan, motivasi,
sasaran didik sangat beragam. Untuk kajian lebih lanjut, periksa pada
bahasan proses pendidikan bisnis di bawah.
Sejalan dengan pengertian sikap yang dijelaskan di atas, dapat dipahami
bahwa: 1) sikap ditumbuhkan dan dipelajari sepanjang perkembangan orang
yang bersangkutan dalam keterkaitannya dengan obyek tertentu, 2) sikap
merupakan hasil belajar manusia, sehingga sikap dapat ditumbuhkan dan
dikembangkan melalui proses belajar, 3) sikap selalu berhubungan dengan
obyek, sehingga tidak berdiri sendiri, 4) sikap dapat berhubungan
dengan satu obyek, tetapi dapat pula berhubungan dengan sederet obyek
sejenis, 5) sikap memiliki hubungan dengan aspek motivasi dan perasaan
atau emosi (Gerungan, 2000). Mengetahui karakter sikap semacam ini
sangat penting manakala kita akan membahas sikap secara cermat. Dari
sifat ini dapat diketahui bahwa sikap dapat ditumbungkan dan
dikembangkan, melalui proses pembelajaran siswa yang sesuai dengan
motivasi, dan keinginan mereka. Demikian juga, sikap harus diarahkan
pada suatu obyek tertentu, sehingga memudahkan mengarahkan belajar
siswa pada sasaran belajar yang sesuai dengan minat dan keinginannya.
Menumbuhkan dan Mengembangkan Sikap
Bagaiman sikap dapat ditumbuhkan? Seperti di atas
dijelaskan, bahwa
sikap dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui proses belajar. Dalam
proses belajar tidak terlepas dari proses komunikasi dimana terjadi
proses tranfer pengetahuan dan nilai. Jika sikap merupakan hasil
belajar, maka kunci utama belajar sikap terletak pada proses kognisi
dalam belajar siswa. Menurut Bloom, serendah apapun tingkatan proses
kognisi siswa dapat mempengaruhi sikap (Munandar, 1999). Namun
demikian, tingkatan kognisi yang rendah mungkin saja dapat mempengaruhi
sikap, tetapi sangat lemah pengaruhnya dan sikap cenderung labil. Kami
yakin, bahwa proses kognisi yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan
sikap secara signifikan, sejalan dengan taksonomi kognisi Bloom, adalah
pada taraf analisis, sintesis, dan evaluasi. Pada taraf inilah
memungkinkan sasaran didik memperoleh nilai-nilai kehidupan yang dapat
menumbuhkan keyakinan yang merupakan kunci utama untuk menumbuhkan dan
mengembangkan sikap. Melalui proses akomodasi dan asimilasi
pengetahuan, pengalaman, dan nilai ke dalam otak sasaran didik, seperti
pendapat Pieget, pada gilirannya akan menjadi referensi dalam
menanggapi obyek atau subyek di lingkungannya.
Pertanyaan yang muncul, apakah semua informasi dapat mempengaruhi
sikap? Tidak semua informasi dapat mempengaruhi sikap. Informasi yang
dapat mempengaruhi sikap sangat tergantung pada isi, sumber, dan media
informasi yang bersangkutan (Morgan dan King, 1974; Howard, 1975).
Dilihat dari segi isi informasi, bahwa informasi yang menumbuhkan dan
mengembangkan sikap adalah berisi pesan yang bersifat persuasif. Dalam
pengertian, pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi haruslah
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keyakinan sasaran didik, meskipun
sebenarnya keyakinan tersebut akan didapat siswa sendiri melalui proses
belajar. Seperti di atas telah disebutkan, bahwa untuk dapat memberikan
pesan yang persuasif kepada sasaran didik haruslah dibawa pada obyek
telaah melalui proses penganalisaan, pensintesisan, serta penilaian,
yang dilakukan sasaran didik untuk memperoleh keyakinan. Langkah ini
akan dapat berhasil manakala dilaksanaan secara individual, dan dibawa
ke model belajar sambil bekerja yang selaras dengan motivasi, minat dan
bakat sasaran didik. Dengan demikian, proses belajar-mengajar klasikal,
misalkan dengan ceramah, efektivitas dalam menumbuhkan sikap perlu
dipertanyakan.
Sumber informasi sangat berpengaruh pada penumbuhan sikap. Di samping
informasi dari buku teks, mungkin juga dari fakta empirik, guru atau
pendidik juga merupakan sumber belajar. Kualitas sumber informasi
sangat berpengaruh pada penumbuhan keyakinan siswa. Karena itu kualitas
informasi sangat menentukan perolehan pengalaman yang memandai, yang
dibutuhkan untuk mengembangkan cakrawala pandang. Demikian juga fakta
empirik, harus diberikan. Fakta empirik merupakan informasi sekaligus
bahan belajar yang sangat berharga yang dapat dipelajari, dianalisis
oleh siswa untuk memperoleh pengalaman dan untuk menambah keyakinan
mereka. Di samping itu, guru juga memiliki peranan yang kuat dalam
menumbuhkan sikap, karena gurulah yang berkomunikasi langsung dan
sekaligus merupakan preferensi bagi siswa. Oleh karena itu, kualitas
guru, baik dilihat dari kemampuan, keluasan wawasan, pengusaaan
pengetahuan teoritis dan praktis diperlukan. Di sinilah peran guru
sebagai fasilitator, inovator, motivator, dapat dimainkan. Dengan
demikian, dalam model belajar yang diharapkan di sini membutuhkan
keragaman sumber informasi. Dengan sumber informasi yang beragam siswa
dapat menentukan pilihan yang sesuai dengan minat, motivasi, serta
bakat mereka. Dengan cara inilah, siswa dapat menemukan sendiri
pengetahuan dan informasi yang akan mereka gunakan untuk penganalisaan
situasi dan fakta untuk mendapatkan nilai-nilai yang bermanfaat bagi
hidupnya.
Selanjutnya, tentang media, bahwa tidak setiap media informasi dapat
mempengaruhi sikap siswa. Karena itu adalah mutlak bagi guru untuk
mencari buku teks maupun sejenisnya yang dapat mempengaruhi keyakinan
siswa. Banyak buku teks yang isinya terlihat diam dan menjemukan. Tidak
menumbuhkan gairah keingin tahuan, dan tidak dapat mempersuai pembaca.
Isi buku teks hanyalah suatu onggokan konsep dan teori yang boleh
dikata, kurang ada manfaatnya bagi hidup. Oleh karena itu, media
informasi haruslah di cari oleh guru yang benar-benar bisa menumbuhkan
gairah keingin tahuan siswa dan bersifat persuasif. Dengan demikian, di
samping buku teks, media informasi lain harus dicari. Banyak buku-buku
fiksi, biografi (misalkan cash-flow Quadrant, chicken shop, Business
Combat), ceritera persaingan Pepsi-Colla dengan Coca-Colla, Raja
Komputer AS Bill Gates, bagaimana perusahaan multinasional dapat
mempengaruhi perekonomian dunia, dan sebagainya. Mungkin juga
hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan dalam internet, jurnal
ilmiah, dan sebagainya dapat dimanfaatkan. Kreativitas guru dalam
menumbuhkan keyakinanan siswa sehingga sikap dapat dibentuk seperti
yang harapan siswa sangatlah dibutuhkan, terlebih-lebih lagi jika
dikaitkan dengan usaha untuk menumbuhkan motivasi dan keinginan yang
kuat untuk berkembang, ulet, berani mengambil risiko, selalu
mengansipasi perubahan, dan sebagainya. Orientasi guru tidak lagi
berorientasi pada apa yang diharapkan guru, penumpukan konsep dan
materi yang berlebihan yang tidak ada manfaatnya bagi hidup, tetapi
harus beorientasi pada apa yang siswa harapkan dan pengetahuan yang
benar-benar bermanfaat bagi hidup siswa pada masa mendatang. Dengan
cara inilah kemungkinan besar pendidikan dapat membawa ouputnya yang
benar-benar memiliki keunggulan, inovatif, jika terjun dalam dunia
kerja.
Kapan Sikap Ditumbuhkan
Sikap dapat tumbuh selama manusia
hidup. Sepanjang hidupnya, manusia belajar tidak pernah berhenti.
Proses akomodasi dan asimilasi pengetahuan, dan pengalaman, berlangsung
sepanjang hidup manusia. Dalam proses yang panjang inilah nilai-nilai
hidup didapatkan oleh manusia, yang kemungkinan besar akan dapat
menumbuhkan sikap mereka terhadap subyek atau obyek. Periode kritis
penumbuhan seseorang terjadi pada usia 12 tahun sampai 30 tahun (Sear
dalam Morgan dan King, 1974). Jika pendapat Sear ini dianut, maka
penumbuhan sikap yang paling tepat ketika usia Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP), sampai dengan Perguruan Tinggi (PT), setelah itu sikap
akan tumbuh melalui belajar dan pengalaman pribadi masing-masing. Perlu
dipahami, bahwa dalam hidup belajar lebih banyak ditentukan oleh diri
sendiri dari pada di bangku sekolah. Namun demikian, sudah menjadi
kewajiban bagi sekolah untuk menumbuhkan sikap dasar yang bermanfaat
bagi hidup sasaran didik. Selanjutnya, di luar bangku sekolah, sikap
akan dikembangkan sendiri oleh yang bersangkutan.
Lebih lanjut Sear mengatakan, bahwa setelah usia 30 tahun sikap relatif
permanen sehingga sulit berubah (dalam Morgan dan King, 1974). Dari
sini terlihat betapa pentingnya peletakan sikap dasar di sekolah,
mengingat bahwa usia pembentukan sikap dasar ketika siswa ada pada SLTP
sampai dengan PT. Oleh karena itu, jika kita sadar akan tanggung
sebagai pendidik, dan menyadari usia yang memungkinkan sikap dapat
ditumbuhkan, maka sudah seharusnya kita tidak menyia-nyiakan waktu
tersebut untuk menumbuhkan sikap dasar siswa yang benar-benar ada
manfaatnya bagi hidupnya maupun bagi bangsa dan negara.
Kendala Menumbuhkan Sikap
Kendala penumbuhan sikap terjadi ketika ada benturan nilai
yang
diyakini seseorang dengan nilai yang berkembang di masyarakat. Semua
institusi dalam masyarakat harus dapat menunjang pendidikan. Artinya,
masyarakat secara menyeluruh harus memberikan dukungan terhadap proses
pendidikan bisnis. Akan tetapi, dalam kenyataannya, di negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia, pendidikan bisnis mungkin
mengalami hambatan sosio-budaya, seperti yang dikemukan oleh Jinghan
(1999). Bahkan banyak ahli ekonomi yang mengatakan bahwa di negara
sedang berkembang memiliki ciri yang mendua, di samping menganut faham
ekonomi liberal juga menganut faham sosial (ekonomi campuran). Sifat
mendua inilah yang merupakan kedala bagi kemajuan ekonomi negara dunia
ketiga (Todaro, 1997; Jinghan, 1999). Mungkin sifat mendua inilah yang
merupakan salah satu kendala bagi penumbuhan sikap wirausaha di
Indonesia.
Nilai sosio-budaya feodal yang diwarisi dari penjajahan Belanda sangat
kita rasakan pengaruhnya pada orang tua dan senior kita. Mereka sangat
menyukai kemapanan dan alergi terhadap perubahan. Mereka lupa bahwa
tanpa perubahan tidak akan ada perkembangan. Semuanya akan terlihat
statis. Kondisi semacam ini telah diungkap oleh Todaro bahwa budaya
dari penjajahan negara-negara Eropa sangat mempengaruhi pembangunan di
negara dunia ke tiga, termasuk Indonesia (Todaro, 1977). Keinginan
orang tua agar anak menjadi pegawai negeri merupakan bukti konkrit
bahwa budaya feodal yang merupakan warisan dari penjajah sebagai suatu
kendala perkembangan bangsa kita. Mungkin saja anak memiliki jiwa dan
sikap positif terhadap wirausaha, akan tetapi mungkin mengalami
benturan nilai dengan orang tua, sehingga anak terpaksa menjadi
pengawai negeri.
PROSES PENDIDIKAN WIRAUSAHAWAN
Proses pendidikan tidak lepas
dengan peroses pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu usaha untuk
menciptakan kondisi yang kondusif bagi belajar siswa (Gagne dan Briggs,
1974). Dari batasan ini tampak bahwa proses dalam belajar dan
pembelajaran sasaran utamanya adalah pada proses belajar sasaran didik
atau siswa. Demikian juga dalam Quantum Learning, maupun Revolusi Cara
Belajar, dalam pendidikan harus mengutamakan belajar siswa secara
aktif. Degeng (2001) juga mengatakan bahwa sasaran pendidikan adalah
belajar siswa, bukan semata-mata pada hasil belajar siswa.
Dari berbagai pendapat di atas terlihat bahwa seharusnya dalam proses
belajar dan pembelajaran yang memiliki peran aktif adalah siswa, bukan
guru. Guru sebagai fasilitator berperan untuk menciptakan suasana dan
lingkungan sekitar yang dapat menunjang belajar siswa sesuai dengan
minat, bakat, dan kebutuhannya. Dengan kata lain, dalam berbagai
referensi yang sekarang sedang ramai dibicarakan, adalah proses
pembejaran individual, atau individual learning. Mengapa demikian?
Siswa memiliki minat, bakat, dan kebutuhan yang berbeda. Sudah
sehrusnya faktor ini diperhatikan dalam proses pendidikan. Oleh karena
itu, model pembelajaran klasikal sudah tidak cocok lagi. Pembelajaran
harus terfokus pada belajar individual cocok (Porter dan Hernacki,
2002; Dreden dan Vos, 2001). Demikian pula dalam pendidikan binis
belajar individual perlu dilaksanakan. Dalam pendidikan wirausahawan
ada beberapa langkah penting yang perlu untuk dilakukan :
Mengetahui Minat, Motivasi, dan Tujuan Belajar Siswa
Seperti
di atas telah disinggung, bahwa dalam proses pendidikan kita harus
memiliki pengertian bahwa kita melayani keinginan dan kebutuhan siswa.
Oleh karena itu, dalam proses belajar-pembelajaran harus memiliki
karakteristik untuk melayani keinginan dan kebutuhan siswa, bukan
transformasi pengetahuan menurut selera sekolah maupun pendidik. Jika
materi yang dipelajari siswa relevan dengan minat, motivasi, dan tujuan
belajar mereka, maka akan dapat menumbuhkan gairah belajar, kreativitas
berfikir, dan karya siswa. Meskipun hasil belajar bukan merupakan
sasaran utama pendidikan seperti yang dikatakan Degeng, sudah
seharusnya bahwa keberhasilan belajar diketahui. Oleh karena itu,
sasaran dari langkah pertama adalah hasil belajar siswa, yakni dapat
menjadi pribadi yang mereka inginkan.
Mengetahui Kesiapan Siswa Baik Mental dan Pengetahuan
Kesiapan di sini perlu diketahui untuk dasar penentuan
strategi maupun
material yang bobot dan relevansinya sesuai dengan kesiapan yang ada
pada diri siswa. Dengan demikian, kita dapat memberikan dorongan dan
rangsangan belajar sesuai dengan potensi yang ada di dalam diri siswa.
Menurut konsepsi ini, seharusnya penyelesaian pendidikan oleh setiap
individu siswa tidak selalu dapat bersamaan, tergantung pada kemampuan
dan kesungguhan belajar mereka.
Mengetahui Bakat Siswa
Bakat perlu diketahui. Anak berbakat menurut Utami Munandar
adalah
mereka yang diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi
yang tinggi karena mempunyai kemampuan yang unggul (Munandar, 1999).
Bakat seseorang amat bervariasi, oleh karena itu perlu dicari agar
dapat dikembangkan dan bermanfaat dalam kehidupan. Dengan mengawinkan
bakat dan pengetahuan yang akan dipelajari siswa, akan lebih mendorong
siswa untuk belajar lebih giat sehingga optimasi hasil belajar siswa
dapat dicapai. Selanjutnya, pengetahuan tentang minat, motivasi atau
tujuan belajar, bakat, dan kesiapan siswa sangat membantu pendidik
untuk merancang materi dan strategi belajar dan pembejaran. Gambar 3 di
bawah, terlihat bagaimana guru dalam merancang materi dan strategi
belajar dan pembelajaran perlu memperhatikan minat, tujuan belajar,
motivasi, bakat, dan kesiapan siswa.
Sebagai catatan tambahan, jika minat, motivasi, tujuan belajar, dan
kemampuan siswa diketahui secara individual, dimungkinkan diciptakan
kelas yang homogin. Pendiptaan kelas homogin ini penting untuk
memudahkan penciptaan suasana, prasarana, dan perlakuan dalam proses
belajar-pembalajaran. Akan tetapi, jika kelas heterogin akan
menimbulkan sedikit kendala dalam proses belajar-pembelajaran.
Menentukan Strategi Belajar
dan Pembelajaran
Penentuan
strategi pembelajaran, jika kita sepakat dengan asumsi bahwa potensi,
kebutuhan, dan minat belajar setiap individu berbeda, maka strategi
yang tepat adalah mengutamakan pada belajar mandiri, meskipun model
tutorial yang juga dibutuhkan. Tutorial dibutuhkan hanya untuk
memberikan kerangka dasar pemikiran dan pengetahuan dasar yang
dibutuhkan siswa. Selanjutnya, penggunaan metode inkuri dan discoveri,
serta pemecahan masalah lebih diutamakan. Hal ini dapat untuk
menumbuhkan sikap ulet, tekun, terbiasa mencari solusi, berani
mengambil risiko, mengetahui dunia nayta yang serba tidak menentu,
terbiasa menghadapi perubahan dan menemukan peluang dari perubahan
tersebut, dan sebagainya, yang kesemuanya dibutuhkan bagi seorang
wirausahawan. Dengan demikian model pembelajaran yang ditawarkan dalam
makalah ini, bahwa siswa lebih banyak dihadapkan pada permasalahan baik
teoritis maupun faktual agar mereka mencari solusi yang paling meskipun
risiko cukup besar. Risiko yang besar sering memberikan peluang untuk
mendapatkan keuntungan yang besar. Kiat-kiat hidup semacam ini yang
harus ditanamkan kepada sasaran didik untuk menumbuhkan sikap positif
terhadap wirausahawan. Model ini jika dibuat gambar tampak seperti
gambar 3 di bawah.
Pada gambar 3 di bawah, menunjukan bagaimana interkasi belajar dan
pembelaran berlangsung.
Keterangan: Guru dan siswa harus ada kesepakatan terlebih dahulu
mengenai keinginan, minat, motivasi, sekolah siswa dan bakat yang ada
pada diri siswa. Berdasarkan kesepakatan ini, selanjutnya guru
merumuskan pengalaman belajar apa yang seharusnya ada pada diri siswa,
material yang harus dipelajari, strtegi pembelajaran yang menumbuhkan
gairah belajar siswa.
Dapat terlihat, bahwa harus mampu mencari meteri belajar yang berupa
masalah, baik teoritis maupun faktual, untuk dipecahkan oleh siswa.
Tugas guru lebih banyak sebagai fasilitator (mentor), mengawasi, dan
mengarahkan belajar siswa. Pembahasan permasalahan harus diarahkan
kepada pengambilan keputusan yang berupa solusi masalah, kesimpulan dan
langkah yang harus diambil. Dengan cara demikian pengalaman belajar
siswa lebih banyak manfaat bagi pemenuhan minat, dan kebutuhan belajar
mereka. Suatu hal yang perlu diketahui, bahwa semua permasalahan yang
dihadapkan kepada siswa harus dapat menumbuhkan ciri-ciri wirausahawan
dalam diri dan operilaku kognisi mereka. Harapan yang ingin dicapai
adalah: pengetahuan siswa mendalam, pengetahuan siswa ada manfaatnya
bagi hidup, menumbuhkan keyakinan dan percaya diri, mampu melihat
permsalahan kini dan masa depan, mampu melihat peluang-peluang yang
dapat mereka manfaatkan, mampu menciptakan hal-hal yang baru. Tujuan
akhir dari harapan ini adalah membentuk sikap positif terhadap
entrepeneur.
Dalam proses belajar dan pembelajaran, Harus banyak menekankan pada
proses belajar mandiri. Tujuan belajar mandiri, setidak-tidaknya
berfungsi untuk: menumbuhkan kreativitas berfikir, menumbuhkan
kepercayaan diri, memberi keterampilan memecahkan permasalahan dan
mengambil keputusan, membiasakan menemukan peluang pada masa depan,
meskipun penuh ketidak pastian, menumbuhkan jiwa inovatif, menumbuhkan
sikap berani menanggung risiko. Keseluruhan watak pribadi ini harus ada
dalam diri siswa. Watak-watak tersebut yang dibutuhkan untuk
menumbuhkan seorang wirausahawan (perhatikan ciri wirausahawan yang
diungkap di atas).
Keterangan : Interaksi dalam proses belajar dan pembelajaran terjadi
secara timbal balik. Interkasi ini diarahkan untuk memecahkan
permasalahan baik teoritis maupun prkatis, yang kemudian diambil
kesimpulan serta penentuan langkah yang perlu diambil. Proses pemecahan
masalah dapat pula dilakukan siswa secara individual.
Selanjutnya model belajar yang diharapkan dalam proses belajar dan
pembelajaran di atas dapat diperiksa visualisasi gambar 5 di bawah.
Pada gambar lima terlihat bahwa sumber permasalahan yang dihadapkan
siswa berupa pengetahuan teoritis, pengamatan bisnis praktis, dan
praktek berbisnis. Masalah yang didapat siswa atau yang diberikan guru,
harus dipecahkan, dicarikan solusinya, dan dicari kemungkinan peluang
yang dapat dimanfaatkan. Pemecahan masalah dapat dilakukan sendiri oleh
siswa, diskusi dengan siswa lain, atau bersama-sama guru. Kesemua
keputusan hasil diskusi selalu diarahkan kepada persoalan praktis
bisnis, dan penumbuhan ciri-ciri serta tujuan pendidikan wirausahawan
seperti yang disebutkan di atas. Dalam berbegai hasil penelitian, bahwa
keputusan yang diambil siswa sebaiknya beragam untuk mendapatkan
pengalaman belajar yang bervariasi dan padat, serta memperoleh
keputusan yang paling tepat diantara alternatif yang mereka kemukan.
METODE YANG DAPAT DIPERGUNAKAN
DALAM PROSES PEMBELAJARAN
Banyak metode pembelajaran yang dapat dipergunakan dalam
pendidikan
wirausahawan. Pada prinsipnya, dalam berbagai temuan bahwa metode
pembelajaran harus beragam, dan tidak membatasi ruang bagi siswa untuk
berkreasi baik dalam bentuk ide, dan perilaku. Karena dalam model
pembelajaran yang kami maksudkan juga memberikan kebebasan guru untuk
merumuskan metode pembelajaran sendiri, maka sebenarnya tidak ada suatu
metode baku yang dapat kita tawarkan. Guru diberi kebebasan berkreasi
dalam mendesain proses pembelajaran. Hanya yang terpenting untuk
diperhatikan oleh guru adalah dalam mendesain proses pembelajaran: 1)
menghindari pengumpulan pengetahuan yang tidak ada manfaatnya bagi
hidup sasaran didik; 2) mengarahkan belajar siswa untuk mendapatkan
pengalaman belajar yang bermanfaat bagi hidup mereka, dengan
memanfaatkan pengetahuan yang ia dapatkan; 3) tidak membatasi ruang
yang dapat dimanfaatkan siswa untuk berfikir kreatif; 4) belajar siswa
hendaknya tetap mengarah pada pemecahan problematik kehidupan, baik
yang disampaikan guru maupun yang mereka temukan sendiri; 5)
mempergunakan media, sumber informasi, dan metode pembelajaran yang
bervariasi; 6) menciptakan suana lingkungan belajar yang menyenangkan
dan dapat memotivasi belajar siswa.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada kunci yang bersifat deterministik
bagi aktivitas guru untuk mendesain proses pembelajaran. Banyak
model-model pembelajaran yang telah diciptakan dalam berbegai
penelitian yang mungkin dapat diadopsi. Akan tetapi, itupun tidak
merupakan suatu keharusan. Model temuan desain pembelajaran misalkan
model LDP oleh Brent G. Wilson, model kinerja kognitif oleh Sherrie P.
Gott dan kawan-kawan, belajar dengan multi-media oleh David H. Jonassen
dan kawan-kawan, dan sebagainya.
Terdapat beberapa stretegi pembelajaran yang dapat dikembangkan oleh
guru. Artinya, bahwa strategi pembelajaran merupakan kemungkinan
strategi yang dapat diterapkan, akan tetapi jangan dianggap sebagai
resep yang sudah pasti. Kreativitas guru untuk mengembangkan dan
menyempurnakan strategi pembelajaran masih dibutuhkan. Dalam kesempatan
ini kami hanya mampu untuk memberikan gambaran kasar tentang strategi
umum, sekali lagi, yang sudah barang tentu belum operasional.
Operasionalisasi dari strategi yang kami rumuskan ini membutuhkan waktu
banyak, dan mungkin menurut prinsip konstruktivis tetap tidak
dibenarkan adanya standar strategi pembelajaran yang baku.
DAFTAR RUJUKAN
Anon, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.
2, 1989) dan Peraturan Pelaksanaanya. Jakarta : Sinar Grafika, 1999.
Atkitson, Rita L., et. al. Pengantar Psikologi (terjemahan). Batam
Centre : Interaksara, 2000.
Azwar, Saifuddin, Drs., MA, Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Wilson, Brent G, Constructivist Learning Environments. New Jersey :
Educational Technology Publicatins Englewood Cliffs, 1996.
Budiono, DR., Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta : BPFE, 1999.
Bygrave, Enterpreneurship (terjemahan). Jakarta : Binarupa Aksara, 1996.
Crowther, Frank dan Brian Caldwell, The Entrepreneurial School. London
: Ashton Scholastic.
Degeng, I Nyoman S., Prof. Dr, MPd, Kumpulan Bahan Pembelajaran. Malang
: LP3-UM, 2001.
Drucker, Peter F, Inovasi dan Kewiraswastaan :Praktek dan Dasar-Dasar
(terjemahan). Jakarta : Erlangga, 1996.
Dryden, Gordon dan Dr. Jeannette Vos, Revolusi Cara Belajar. Bandung :
Kaifa, 2001.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki, Quantum Learning. Bandung : Kaifa,
2002.
Depotrter,Bobbi, et. all., 2000. Quantum Teaching. Bandung : Kaifa.
Gerungan, WA., 2000. Psikologi Sosial. Bandung : Refika Aditama.
Gagne, Robert M., dan Leslie J. Briggs, 1974. Principles of
Instructional Design. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Hogan, Kevin, 1997. The Psychology of Persuasion (terjemahan). Jakarta
: Profesional Books.
Hubbard, L Ron, 2002. Learning How to Learn (terjemahan). Jakarta : PT
Gramedia.
------------------ , 2002. Study Skills for Life. Jakarta : PT Gramedia.
Jinghan, ML, 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Kendler, Howard H., 1974. Basic Psychology. Philipines :
Benyamin/Cummings.
Krech, David, Richard S. Crutfield, dan Egerton L. Ballachey, 1962.
Individual in Society. Tokyo : McGraw-Hill Kogasuka Ltd.
Longworth, Norman, 1999. Making Lifelong Learning Work : Learning
Cities for a Learning Century. London : Kogan Page.
Morgan, Clifford T, dan Ricahrd A. King, 1975. Introduction to
Psychology. New York : McGraw-Hill Book Company.
Munandar, Utami, 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta
: Rineka Cipta.
Robbins, Stephen P, 2001. Oraganizational Behavior. New Jersey :
Prentice Hall.
Scharg, Adele F dan Robert P. Poland, 1987. A System for Teaching
Business Education. New York : McGraw-Hill Book Company.
Syah, Muhibbin, Med, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Todaro, Michael P, 1999. Ekonomi Pembangunan di Dunia ketiga. Jakarta:
Erlangga.
Wadsworth, Barry J, 1997. Piaget’s Theory of Cognitive
Development. New
York: Longman.
|