Untuk Kembali Ke Artikel Silahkan Klik Disini

Kemiskinan dan Kesejahteraan Bangsa
Oleh COKI AHMAD SYAHWIER 

"... kita tidak perlu gundah dan nelangsa meratapi kemiskinan berlarut-larut, akanlah bijak menjadi bangsa mandiri dan heroik dalam mengatasi tantangan dan rintangan apa pun bentuknya untuk dijadikan jembatan dalam menggapai kesejahteraan yang berkeadilan, merata, dan berkelanjutan." 

ISU kemiskinan seakan sepi dari percakapan sehari-hari, baik dalam komunitas elite politik, akademisi, pengusaha, dan oleh sebab ketidakberdayaannya, suara mengenai kemiskinan dari komunitas orang miskin juga nyaris tidak terdengar. Mungkin saja mereka pun sudah letih dan tertatih-tatih untuk bersuara walaupun sayup-sayup suara masih ingin mereka perdengarkan.

Sebaliknya justru suara gemuruh tabuh genderang komunitas pemburu kekayaan "materialis-kapitalis" lebih nyaring bunyinya dan menggema di seantero wilayah. Fenomena itu tidak baik dan harus dilenyapkan. Disparitas ekonomi tidak perlu terjadi. Karena perbedaan sosial ekonomi harus menjadi pertautan abadi, saling melengkapi, dan dibungkus dalam determinan kedamaian dan kesejahteraan yang merata dan berkeadilan. Inilah pekerjaan besar sebuah bangsa.

Isu kemiskinan memang sering menjadi primadona. Apalagi saat-saat berlangsungnya pergelaran pentas demokrasi dalam rangka pemilihan wakil-wakil rakyat dan kursi-kursi jabatan publik. Ketika itu, isu kemiskinan tidak lebih hanya dijadikan sebagai komoditas politik belaka, diperjualbelikan di antara berbagai kepentingan transaksi. Sudah tentu tidak menafikan, tidak sedikit pula yang punya komitmen besar dalam menyuarakan lonceng kemiskinan itu secara positif.

Kini kemiskinan menjadi masalah global manakala sebagian besar "orang" merasakan dahsyatnya dampak yang ditimbulkan oleh kemiskinan. Berbagai kegiatan dan tindakan represif timbul sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kemiskinan. Balada kemiskinan telah membuat ketenteraman dan kedamaian hidup mereka terusik. Bersamaan dengan itu baru mereka menyadari bahwa kemiskinan bukanlah masalah yang sepele melainkan suatu genre hakiki kemanusiaan yang teramat perlu dientaskan dan disentuh.

Dalam abad ini, bangsa-bangsa mulai memaknai arti kemiskinan. Sebab agenda kemiskinan sudah menjadi agenda utama bangsa-bangsa di dunia. Semua negara yang punya nurani tentu akan mendorong isu pengentasan kemiskinan menjadi suatu gebrakan besar yang lebih fokus sebagai wahana mengejewantahkan keseriusan kolektif dalam mereduksi jumlah orang miskin.

Tidak satu pun negara yang selama ini mengusung pesan-pesan ketenteraman dan kedamaian di dalam berbagai perhelatan internasional ingin "orang-orang"-nya semakin terpukau hanya karena parade kemasan retorika yang menyusup ke dalam pola pikir bahwa kesejahteraan ekonomi secara linear dapat diwujudkan dengan slogan-slogan stabilitas dan perubahan fundamentalis yang tidak jelas. Sebab stabilitas saja tidak cukup, pelajaran untuk itu sudah lama kita terima. Jadi harus ada kontrak baru yang mengalir deras di semua lini kehidupan, semua tingkatan sosial dalam suatu gebrakan besar yang mengglobal untuk mengentaskan kemiskinan.

Di Indonesia, masalah kemiskinan sudah sangat melekat dan telah menjadi determinan utama di dalam kehidupan bangsa hari ini dan masa akan datang. Lihat saja data penduduk miskin tahun 2000 sudah mencapai 19,14% meskipun menurun sedikit menjadi 17,42% di tahun 2003. Tapi tahukah kita kalau angka persentase penduduk miskin itu ternyata sama dengan 37,4 juta penduduk miskin. Artinya di antara kita terdapat 37,4 juta orang dari total populasi penduduk Indonesia yang masih hidup dalam kondisi miskin. Sementara pendapatan per kapita rata-rata per tahun diperkirakan baru mencapai 1.000 dolar AS.

Kalau diasumsikan satu dolar AS adalah Rp 9.000, maka pendapatan per kapita rata-rata per tahun orang Indonesia hanya sebesar Rp 9.000.000,00 atau sebesar Rp 750.000,00 per bulan. Dengan kata lain setiap orang katakanlah seorang kepala keluarga setiap harinya hanya membawa pulang uang mata pencahariannya ke rumah sebesar Rp 25.000,00 per hari, dan bilamana ia harus menanggung biaya untuk empat orang yang terdiri dari dirinya, istri, dan dua anaknya maka setiap orang Indonesia hanya memiliki uang sebesar Rp 6.250,00.

Tentu mencengangkan, apa bisa dengan uang Rp 6. 250,00 setiap anggota keluarga dapat mengalokasikan pengeluarannya sehari-hari terutama untuk pengeluaran kebutuhan pokok atau primer. Namun inilah realitas hidup hari ini kalau ditinjau dari sisi pendapatan per kapita rata-rata per tahun. Demikian miskinkah kita? Tunggu dulu.

Kemiskinan seringkali bermakna ganda yaitu apakah miskin yang dikenal merupakan kemiskinan absolut atau kemiskinan relatif. Michael P. Todaro dalam Economic Development in the Third World (1989) menyatakan, "biasanya gejala kemiskinan absolut pada suatu lokasi dapat diukur dari proporsi penduduk yang hidup di bawah tingkat pendapatan minimum yang telah ditentukan (adequate standards of living)". Memakai definisi Todaro dalam konteks kemiskinan di Indonesia maka sesungguhnya pendapatan per kapita per bulan sebesar Rp 750.000,00 itu sebenarnya tidak digolongkan sebagai miskin jika diukur dengan pendekatan upah minimum regional (UMR) yang kini disebut UMP (upah minimum provinsi) atau UMK (upah minimum kabupaten/kota) yang rata-rata berada pada kisaran Rp 650.000,00-Rp 800.000,00 per bulan.

Namun A. Webster dalam Measures of Inequality and Development (1994) mengemukakan, "konsep kemiskinan dalam arti relative deprivation merupakan salah satu pendekatan yang sangat bersifat sosial terhadap kebutuhan manusia".

Artinya, orang dapat saja memandang kemiskinan menurut subjektivitasnya. Misalnya miskin-tidaknya seseorang bergantung pada antara lain kepemilikan atas tanah pertanian, kemampuan menyekolahkan anak, kemampuan mengadakan hajatan keluarga, kemampuan menyediakan makanan yang dikonsumsi sehari-hari, tingkat kesulitan hidup, dan kepemilikan hewan ternak dengan kondisi rumah tertentu. Dengan demikian semakin baik mutu konsumsi dan jumlah hewan ternaknya ataupun jumlah anak yang bisa di sekolahkan apalagi hingga perguruan tinggi maka ia semakin kaya, sehingga batas atau ukuran kemiskinan semakin tidak jelas.

Pada isu yang sama, Webster juga menyatakan "kemiskinan dapat didasarkan pada perkiraan pendapatan (income) yang dibutuhkan untuk membeli makanan yang cukup guna memenuhi rata-rata kebutuhan gizi bagi setiap orang dewasa dan anak-anak dalam suatu keluarga".

Dengan begitu ukuran pendapatan dapat menjadi standar apakah seseorang digolongkan miskin atau tidak sebab dengan pendapatan tertentu jika ia mampu mengonsumsi sejumlah 2.500 kalori yang berasal dari makanan yang dikonsumsinya maka ia pun tidak digolongkan sebagai orang miskin.

Jadi apa sesungguhnya yang menjadi dasar pertimbangan menggolongkan orang miskin atau tidak? Sebaiknya sebagai perbandingan kita menengok ke belakang ketika krisis ekonomi melanda perekonomian bangsa. Di mana-mana terjadi pemutusan hubungan kerja, banyak pengangguran, banyak anak putus sekolah, anak kekurangan gizi, akan terjadi zero generation di masa akan datang, berikutnya sebagian besar orang yang mengatakan kita sekarang sudah menjadi negara miskin (poor countries).

Tidak sedikit dari bagian terbesar dari kita yang mengatakan seperti itu dengan mengusung berbagai argumen. Tapi sadarkah kita semestinya bukanlah krisis ekonomi yang kita vonis, namun adakah kita menyadari seberapa besar sebenarnya kualitas kesejahteraan yang diberikan kepada anak-anak bangsa selama ini.

Ketika krisis ekonomi sedang berada di posisi titik akumulasi yang tinggi, nyaris tak ada koran yang memberitakan orang kelaparan disebabkan oleh krisis ekonomi. Hal itu merupakan kemusykilan sebab orang pasti berupaya maksimal mendapatkan pekerjaan untuk menafkahi hidupnya dan anggota keluarganya meskipun tidak lagi bekerja di sektor formal. Dalam masa krisis ekonomi menjadi suatu hal yang logis jika masyarakat melakukan penyesuaian-penyesuaian atas jenis pekerjaannya. Terpenting bagi mereka adalah menciptakan pendapatan demi mempertahankan hidup.

Sebaliknya dalam kondisi lain, dengan kasat mata kita dapat melihat betapa krisis ekonomi menyebabkan kesejahteraan banyak orang menurun. Hal itu disebabkan penurunan pendapatan yang berdampak pada terjadinya penurunan konsumsi primer. Pengurangan jumlah makanan yang dikonsumsi dan pengeluaran lainnnya merupakan sesuatu yang lumrah dan keterpaksaan.

Dengan sekaligus membantah pendapat A. Webster, sesungguhnya kemiskinan bukan diukur dari pendapatan atau tingginya angka pengangguran atau tidak bekerja sama sekali. Sebab orang yang bekerja bukan berarti dia tidak miskin. Orang yang berpendapatan Rp 750.000,00/bulan bisa saja memenuhi kebutuhan minimalnya berupa pembelian beras, makanan berprotein dan bergizi, membayar biaya sekolah, sanitasi dan air bersih, membeli obat-obatan, sampai kepada kepemilikan rumah dengan standar sehat. Tetapi sejahterakah mereka?

Belum tentu, sebab dengan pendapatan sebesar itu mereka tidak dapat menghindar dari keterbatasan untuk membeli jumlah kebutuhan pokok minimal mereka. Misalnya, mereka mampu membayar biaya sekolah anaknya tapi hanya sampai pada sekolah dasar. Padahal agar anak punya keterampilan memadai dalam memasuki pasar kerja setidaknya mereka harus tamat sekolah lanjutan tingkat atas. Artinya mereka belum mencapai derajat kesejahteraan. Demikian halnya dengan mengonsumsi makanan. Tidak hanya sekadar mengenyangkan.

Oleh sebab itu jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 37,4 juta jiwa, sesungguhnya merupakan komunitas penduduk miskin yang tidak mampu dalam mencapai tingkat kesejahteraan minimal. Dalam artian kemiskinan sesungguhnya lebih semakin jelas bilamana dilihat dari penglihatan seberapa besar kemampuan seseorang mencapai kesejahteraannya.

Batasan kesejahteraan masih banyak diperdebatkan. Terlalu banyak batas-batas kesejahteraan yang telah dikemukakan para ahli. Namun secara umum kesejahteraan dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Tapi definisi kesejahteraan dapat juga merupakan tingkat aksesibilitas seseorang dalam kepemilikan faktor-faktor produksi yang dapat ia manfaatkan dalam suatu proses produksi dan ia memperoleh imbalan bayaran (compensations) dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Semakin tinggi seseorang mampu meningkatkan pemakaian faktor-faktor produksi yang ia kuasai maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang diraihnya. Demikian pula sebaliknya, orang menjadi miskin karena tidak punya akses yang luas dalam memiliki faktor-faktor produksi walaupun faktor produksi itu adalah dirinya sendiri. Kemiskinan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terlepas di mana pun diletakkan.

Sebenarnya faktor apa yang menjadi penyebab orang tidak mampu mendapatkan kesejahteraan sehingga ia harus miskin? Seorang sosiolog UGM Dr. Lukman Soetrisno menyatakan, "dalam pandangan agrarian populist, negara menjadi penyebab utama kemiskinan, sedangkan berdasarkan pandangan masalah budaya di mana orang menjadi miskin karena mereka tidak memiliki etos kerja yang tinggi, jiwa wiraswasta, dan rendahnya pendidikan" ("Prisma" No. 10/1995).

Menyimak pendapat Lukman, maka seyogianyalah penyelenggara negara mengambil peran utama memfasilitasi dan meregulasi sejumlah kebijakan dan program-program pembangunan yang membuka seluas-luasnya aksesibilitas setiap warga untuk mendapatkan faktor-faktor produksi dengan imbalan kompensasi yang meningkat. Jadi tidak ada entry barrier bagi siapa pun dalam kepemilikan faktor-faktor produksi, yang ada adalah abilility to achieve a politically acceptable potential living standard. Akan menjadi lebih lengkap bilamana pemerintah bersama-sama lembaga-lembaga intermediasi berperan aktif dalam turut serta meningkatkan etos kerja para kepala keluarga, mengembangkan jiwa entrepreneurship (wiraswasta), dan mengemas program-program pendidikan yang terjangkau.*** 

Penulis, Pengamat ekonomi, Sekretaris ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Cabang Bandung Koordinator Jawa Barat, Dosen FE USU dan PTS di Bandung.