RENCANA TENAGA KERJA NASIONAL

Untuk Kembali ke Artikel silahkan Klik Disini 

Sektor Pertanian MENANGGUNG BEBAN BERAT
dalam Penciptaan kesempatan kerja

 

O leh :

Drs. R. Managara T, MSi
(Kasubdid Pengawasan Tenaga Kerja Pusdatinaker, Balitfo)

 

Pada umumnya negara berkembang mempunyai hubungan yang amat erat dan signifikan dengan aktivitas pertanian, baik dalam dimensi ekonomi maupun dalam dimensi sosial. Walaupun tidak berarti bahwa negara yang sudah maju tidak lagi mempunyai perhatian besar terhadap pertanian. Tidak sedikit negara yang tergolong �maju� masih menganggap pertanian mempunyai peranan yang cukup besar dalam pembangunan nasionalnya, misalnya Selandia Baru dan Australia. Namun demikian, pertanian di negara maju mempunyai ciri yang berbeda secara prinsip dengan pertanian di negara berkembang. Pertanian di negara-negara maju sangat efisien, yakni kapasitas produksi yang substansial serta keluaran buruh yang tinggi memungkinkan kecil dengan jumlah petani dapat menyediakan makan bagi seluruh penduduk negara. Sedangkan pertanian di negara-negara berkembang mempunyai produktivitas yang sangat rendah, yaitu yakni kapasitas produksi yang substansial serta keluaran buruh yang rendah dengan jumlah petani yang sangat banyak tetapi tidak cukup untuk memberikan makan seluruh penduduk negara.

 

Kesenjangan antar kedua tipologi pertanian di negara berkembang dengan di negara maju tersebut, dapat digambarkan oleh disparitas produktivitas tenaga kerja pada tabel berikut ini.

 

Populasi, produksi dan produktivitas pertanian
di negara berkembang dan negara maju
Tahun 1960, 1980 dan 2000

 

1960

1980

2000

Negara Maju

Negara Berkem-bang

Negara Maju

Negara Berkem-bang

Negara Maju

Negara Berkem-bang

Populasi pertanian (Juta)

115

850

75

1230

50

1480

 

 

 

 

 

 

 

Total produksi pertanian (USD juta)

78

43

125

77

186

135

 

 

 

 

 

 

 

Produksi pertanian perkapita (USD juta)

680

52

1660

63

3720

91

Sumber: Michael P. Todaro (Ekonomi untuk negara-negara berkembang)

Dari tabel tersebut menunjukkan, bahwa pada tahun 1960, penduduk yang bekerja pada sektor pertanian di negara-negara berkembang berjumlah 115 juta orang dan menghasilkan produk senilai 78 milyar dolar AS. Dengan membagikan nilai produksi terhadap jumlah penduduk yang bekerjanya maka nilai pendapatn per kapita menjadi sekitar 680 dollar AS. Pada tahun yang sama, sektor pertanian di negar-negara berkembang mempekerjakan sebanyak 850 juta orang petani, atau lebih daripada tujuh kali lipat dibanding jumlah petani di negar-negara maju. Namun demikian, nilai produksi yang dapat dihasilkannya hanya sebanyak 43 juta dolar AS atau sekitar separuh dari nilai produksi di negara-negara maju, yang nota bene jumlah petaninya hanya sepertujuh. Alhasil, produktivitas rata-rata yang dicapai di negara berkembang adalah 52 dollar AS per tahun, atau sekitar sepertigabelas dibanding negar-negara maju.

Duapuluh tahun kemudian, penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada negara-negara maju turun menjadi 75 juta orang, berarti berkurang sebanyak 35 juta orang. Di sisi lain, di negara berkembang terjadi lonjakan jumlah petani menjadi 1,23 milyar orang atau bertambah sebanyak 280 juta orang dalam kurun waktu yang sama. Produksi di negara-negara maju meningkat menjadi 125 juta dolar AS berarti meningkat senilai 47 juta dollar AS. Di negara-negara berkembang, nilai produksi justru menurun menjadi 77 juta dollar AS. Dengan demikian, maka produktivitas sektor pertanian di negara-negara maju adalah 1.660 dolar AS, berarti naik sebanyak 980 dollar, sedangkan di negara-negara berkembang hanya mengalami kenaikan sebanyak 11 dolar menjadi 63 dollar per tahun. Hal ini menjadikan kesenjangan produktivitas petani di kedua kelompok negara semakin menganga lebar, yaitu produktivitas di negara berkembang hanya seperduapuluh enam dari produktivitas di negara maju.

Kemudian, duapuluh tahun berikutnya, yakni tahun 2000, kondisi penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada negara-negara berkembang tetap memprihatinkan walaupun mengalami sedikit kemajuan, sedangkan di negar-negara maju menampakkan kemajuan yang sangat pesat. Beban sektor pertanian di negara berkembang untuk memberikan Remunerasi kepada para pekerjanya terus bertambah menjadi 1,48 milyar orang atau naik sebanyak 250 juta orang. Di negara-negara maju menunjukkan fenomena sebaliknya, yaitu terjadi penurunan jumlah pekerja menjadi 50 juta orang atau sebanyak 25 juta orang dalam kurun waktu 20 tahun. Dengan demikian, produktivitas penduduk yang bekerja di sektor pertanian pada negara-negara maju menjadi senilai 3.720 dolar AS sedangkan di negara berkembang hanya 91 dolar. Perbandingannyanya adalah 41 berbanding 1.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mempunyai kondisi sektor pertanian yang tidak jauh berbeda. Tahun 2002, penduduk yang bekerja di sektor pertanian berjumlah 40,63 juta orang atau 44,34 persen dari seluruh penduduk yang bekerja, dengan produktivitas rata-rata per tahun sebanyak 1,69 juta rupiah. Tahun berikutnya, tahun 2003, sektor ini mempekerjakan sebanyak 42 juta orang atau 46,26 persen dari penduduk yang bekerja keseluruhan dan produktivitasnya turun menjadi 1,68 juta rupiah per tahun. Nilai produktivitas pekerja pertanian di Indonesia menempati urutan terakhir atau yang terendah di antara 9 sektor. Produktivitas tertinggi dicapai oleh sektor pertambangan, listrik, gas dan air senilai 54,94 juta rupiah per orang per tahun, dan urutan kedua terendah adalah sektor perdagangan senilai 4,21 juta rupiah per orang per tahun. Hal ini berarti, bahwa nilai produktivitas pekerja di sektor pertanian pada tahun 2003 hanya sepertigapuluhtiga dari produktivitas urutan tertinggi. Dibandingkan dengan nilai produktivitas kedua terendahpun, posisi sektor pertanian masih cukup jauh yakni kurang dari separuhnya.

Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi produktivitas tenaga kerja sektor pertanian di negara-negara berkembang termasuk Indonesia sangat memprihatinkan. Oleh karena itu peranan sektor pertanian di Indonesia yang begitu besar dalam penciptaan kesempatan kerja perlu ditinjau dan dikaji secara sungguh-sungguh dan mendasar guna merumuskan strategi dan kebijakan serta menyusun langkah-langkah dan kegiatan operasinal pemecahan masalah.

Sumber : Warta Ketenagakerjaan Edisi 11 (Nopember) 2004